KUSTA/ LEPRA
1.
Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan
disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang saraf
tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Hernani,
2007).
2.
Penyebab
Kuman Kusta
Mycobacterium leprae (M. Leprae). Kuman ini adalah kuman aerob,
berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μ, lebar 0,2 – 0,5 μ, sifatnya tahan asam
sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M. Leprae biasanya berkelompok dan
ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Dian
Sofianty P., 2009. Memahami seluk beluk penyakit kusta. www.surabaya-ehealth.org.
: 1-3.
3.
Sumber
Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai
sumber penularan, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan
pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar tymus.
4.
Cara
Keluar dari Pejamu (Host)
Kuman kusta banyak ditemukan dimukosa hidung manusia.
Suatu kerokan hidung dari penderita type Lepramatous yang tidak diobati
menunjukan jumlah kuman sebesar 104-1010. Dan telah
terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepramatous
merupakan sumber kuman.
5.
Cara
Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun,
akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae
yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang
lain. Belum diketahui secara pasti cara penularan penyakit kusta. Secara
teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan
penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan kepada orang lain. Menurut Ress (1975)
dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya
tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycobakterium Leprae
dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam
penularan ini adalah :
- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
6.
Cara
masuk kedalam Pejamu
Tempat masuk kuman kusta kedalam tubuh pejamu sampai saat
ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran
pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
Interaksi
penyakit dengan penderita dipengaruhi oleh :
a.
Infektivitas
Adalah kemampuan unsur penyebab / agent untuk masuk dan berkembang biak serta menghasilkan infeksi dalam tubuh pejamu.
Adalah kemampuan unsur penyebab / agent untuk masuk dan berkembang biak serta menghasilkan infeksi dalam tubuh pejamu.
b.
Patogenesis
Adalah kemampuan untuk menghasilkan penyakit dengan segala klinis yang jelas.
Adalah kemampuan untuk menghasilkan penyakit dengan segala klinis yang jelas.
c.
Virulensa
Adalah nilai proporsi penderita dengan gejala klinis yang jelas terhadap seluruh penderita dengan gejala klinis jelas.
Adalah nilai proporsi penderita dengan gejala klinis yang jelas terhadap seluruh penderita dengan gejala klinis jelas.
d.
Imunogenisitas
Adalah suatu kemampuan menghasilkan kekabalan / imunitas.
Adalah suatu kemampuan menghasilkan kekabalan / imunitas.
(Budiarto, 2003)
7.
Pejamu
(Host)
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M Leprae termasuk kuman obligat
intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler.
Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi
malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap penyakit
kusta hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular
tersebut, sekitar 70 % dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit.
8.
Diagnosa
Untuk menetapkan
diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau “cardinal sign”
yaitu :
a.
Lesi
(kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit
dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmenta), atau kemerah-merahan
(erithematous) yang mati rasa (anasthesia).
b.
Penebalan
saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf
ini akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi
saraf ini bisa berupa :
1)
Gangguan
fungsi sensoris : mati rasa.
2)
Gangguan
fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).
3)
Gangguan
fungsi otonom : kulit kering dan
retak-retak.
c.
Adanya
bakteri tahan asam (BTA) di dalam
korekan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dikatakan
sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama diatas. (Hernani,
2007).
9.
Klasifikasi
Setelah seseorang
didiagnosa menderita kusta, maka tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau
klasifikasinya.
a.
Dasar
klasifikasi
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa hal yaitu :
1)
Manifestasi
klinik, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu.
2)
Hasil
pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin
smear basil tahan asam (BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium
hanya dilakukan bila diagnosis meragukan.
b.
Tujuan
Adalah untuk
menentukan :
1)
Jenis
dan lamanya pengobatan penyakit
2)
Waktu
penderita dinyatakan RFT
3)
Perencanaan
logistik
c.
Jenis
klasifikasi
Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit
kusta yang cukup menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling,
klasifikasi India dan klasifikasi WHO. Sebagaian besar penentuan klasifikasi
ini didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah
kuman.
Gambar 2.1
Jenis Klasifikasi
Pada tahun 1982 WHO
mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Klasifikasi
tersebut adalah tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary
(MB).
Tabel 2.1
Pedoman Utama untuk
Menentukan Klasifikasi/ Tipe
Penyakit Kusta
Menurut WHO
Tanda Utama
|
PB
|
MB
|
Bercak kusta
|
Jumlah 1 s/d 5
|
Jumlah > 5
|
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan
fungsi
|
Hanya satu saraf
|
Lebih dari satu saraf
|
Sediaan apusan
|
BTA negatif
|
BTA positif
|
Sumber : Hernani, 2007
10. Reaksi Kusta
a.
Definisi
Reaksi Kusta adalah suatu episode akut dalam perjalanan
kronis penyakit kusta dimana terjadi hipersensitivitas sistem kekebalan tubuh
baik kekebalan seluler maupun kekebalan humoral dengan akibat merugikan
penderita. Reaksi Kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan ( Naafs dan Wheate, 1978)
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta misalnya
:
1)
Penderita
dalam kondisi lemah
2)
Kehamilan,
pasca melahirkan
3)
Sesudah
mendapatkan imunisasi
4)
Penyakit-penyakit
infeksi penyerta, misalnya malaria, kecacingan
5)
Stress,
dan lain-lain
b.
Jenis
Reaksi dan Hubungannya dengan Imunitas
1)
Reaksi
tipe 1
Reaksi tipe 1 atau dikenal dengan reaksi reversal
atau Borderline (lebih banyak terjadi pada tipe borderline) terjadi karena peningkatan respon imun seluler yang
hebat secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respon radang pada daerah
kulit dan saraf yang terkena penyakit ini. Dari sudut pandang pembasmian
bakteri, respon upgrading (naik) mungkin bisa dipertimbangkan
menguntungkan, tetapi inflamasi pada jaringan saraf kadangkala mengakibatkan
kerusakan dan kecacatan yang timbulnya dalam hitungan hari, jika tidak
ditangani dengan adekuat.
Gejala-gejala reaksi dapat berupa perubahan pada kulit,
maupun saraf dalam bentuk peradangan. Kulit memerah, bengkak, nyeri, panas.
Pada saraf manifestasi yang terjadi berupa nyeri atau gangguan fungsi saraf.
2)
Reaksi
tipe 2
Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi
humoral karena tingginya respon imun humoral pada penderita borderline
lepromatous dan lepromatous lepromatous, dimana tubuh membentuk
antibody karena salah satu protein M. Leprae tersebut bersifat
antigenik. Reaksi yang ditimbulkan pada kulit nampak sebagai kumpulan nodul
merah, maka disebut sebagai ENL (Erithema Nodosum Leprosum) dengan
konsistensi lunak dan nyeri.
Gejala-gejala dapat dilihat pada lesi, neuritis
(nyeri tekan) dan ganguan fungsi saraf tepi dan gangguan komplikasi pada organ
tubuh.
c.
Pengobatan
Reaksi
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu
dilakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal
ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada form pencatatan
pencegahan cacat (POD).
1)
Penanganan
reaksi ringan
·
Berobat
jalan dan istirahat di rumah
·
Pemberian
analgetik/ antipiretik, obat penenang bila perlu
·
Jika
masih dalam pengobatan MDT (Multi Drug Therapy) dilanjutkan dengan dosis
tetap
·
Menghindari/
menghilangkan faktor pencetus
2)
Penanganan
reaksi berat
·
Imobilisasi
lokal dan istirahat di rumah
·
Pemberian
analgetik, sedatif
·
Jika
masih dalam pengobatan MDT (Multi Drug Kombinasi) dilanjutkan dengan
dosis tetap.
·
Menghindari/
menghilangkan faktor pencetus
·
Memberikan
obat anti reaksi (prednison)
·
Bila
indikasi rawat inap penderita dirujuk ke Rumah Sakit
·
Reaksi
tipe 2 berat berulang atau reaksi tipe 2 berat yang terjadi pasca RFT diberikan
prednison dan lampren.
(Irawati, 2009)
11. Cacat Kusta
a.
Definisi
Cacat kusta adalah cacat tubuh yang diakibatkan gangguan
fungsi saraf pada mata, tangan dan kaki penderita kusta
b.
Proses
terjadinya cacat kusta
1)
Kerusakan
pada mata
·
Infiltrasi
langsung kuman kusta pada mata atau kelopak mata
Daerah mata yang terkena adalah bagian anterior mata,
yang merupakan daerah yang terdingin dari mata.
·
Kerusakan
saraf VII (facialis) dan saraf V (trigeminus)
Kerusakan saraf facialis menyebabkan kelumpuhan otot
disekeliling kelopak mata, sehingga kelopak mata tidak dapat menutup secara
sempurna. Kerusakan saraf menimbulkan
anastesi konjungtiva dan kornea yang menyebabkan pasien tidak ada rangsangan
untuk menutup kelopak mata bila ada trauma, kekeringan kornea, infeksi dan
peradangan.
·
Inflamasi
sekunder pada mata akibat reaksi berat tipe 2
Akibat reaksi inflamasi, jika berat atau sering berulang
akan menyebabkan terjadinya patologi sekunder seperti atropi dari iris dan
ciliar, perubahan degeneratif pada kornea dan sklera, komplikasi katarak pada
lensa dan gloukoma sekunder.
2)
Kerusakan
pada tangan dan kaki
Terjadinya cacat disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf
tepi. Kerusakan fungsi saraf tepi ini dapat disebabkan oleh kuman kusta itu
sendiri didalam batang saraf atau karena terjadinya peradangan (neuritis)
sewaktu keadaan reaksi kusta. Terjadinya cacat tergantung dari luasnya gangguan
fungsi saraf, baik fungsi sensorik, motorik maupun otonom.
c.
Tingkat
cacat menurut WHO
Tingkat cacat menurut WHO dibagi atas tingkat 0, tingkat
1 dan tingkat 2. Cacat yang terjadi bukan akibat kusta tidak dihitung
Tabel 2.2
Tingkat Cacat
Menurut WHO
Tingkat
|
Mata
|
Telapak
Tangan Dan Kaki
|
0
|
Tidak ada kelainan pada mata akibat
kusta
|
Tidak ada cacat akibat kusta
|
1
|
-
|
Anastesi, kelemahan otot. (cacat yang
tidak terlihat)
|
2
|
Ada Lagoptalmus
|
Ada cacat/ kerusakan yang kelihatan
akibat kusta. Misalnya ulkus, jari kiting, kaki semper.
|
d.
Saraf-saraf
tepi yang dapat mengakibatkan cacat
1)
Saraf
Facialis
2)
Saraf
Radialis
3)
Saraf
Ulnaris
4)
Saraf
Medianus
5)
Saraf
Pereneus Communis
6)
Saraf
Tibialis Posterior
(Irawati,
2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar