Senin, 18 Juni 2012

Penyakit Menular

           KUSTA/ LEPRA

1.      Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Hernani, 2007).

2.      Penyebab
Kuman Kusta Mycobacterium leprae (M. Leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μ, lebar 0,2 – 0,5 μ, sifatnya tahan asam sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M. Leprae biasanya berkelompok dan ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Dian Sofianty P., 2009. Memahami seluk beluk penyakit kusta. www.surabaya-ehealth.org. : 1-3. 

3.      Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar tymus.

4.      Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Kuman kusta banyak ditemukan dimukosa hidung manusia. Suatu kerokan hidung dari penderita type Lepramatous yang tidak diobati menunjukan jumlah kuman sebesar 104-1010. Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepramatous merupakan sumber kuman.

5.      Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycobakterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
  • Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
  • Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
  • Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
  • Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
  • Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
6.      Cara masuk kedalam Pejamu
Tempat masuk kuman kusta kedalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
Interaksi penyakit dengan penderita dipengaruhi oleh :
a.       Infektivitas
Adalah kemampuan unsur penyebab / agent untuk masuk dan berkembang biak serta menghasilkan infeksi dalam tubuh pejamu.
b.      Patogenesis
Adalah kemampuan untuk menghasilkan penyakit dengan segala klinis yang jelas.
c.       Virulensa
Adalah nilai proporsi penderita dengan gejala klinis yang jelas terhadap seluruh penderita dengan gejala klinis jelas.
d.      Imunogenisitas
Adalah suatu kemampuan menghasilkan kekabalan / imunitas.
(Budiarto, 2003)

7.      Pejamu (Host)
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta  setelah kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M Leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap penyakit kusta hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70 % dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit.

8.      Diagnosa
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau “cardinal sign” yaitu :
a.       Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmenta), atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anasthesia).
  b.      Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan  fungsi saraf ini bisa berupa :
1)      Gangguan fungsi sensoris : mati rasa.
2)      Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).
3)      Gangguan fungsi otonom :  kulit kering dan retak-retak.
c.       Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam  korekan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dikatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama diatas. (Hernani, 2007).

9.      Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosa menderita kusta, maka tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya.
a.       Dasar klasifikasi
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu :
1)      Manifestasi klinik, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu.
2)      Hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin smear basil tahan asam (BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan bila diagnosis meragukan.
b.      Tujuan
 Adalah untuk menentukan :
1)      Jenis dan lamanya pengobatan penyakit
2)      Waktu penderita dinyatakan RFT
3)      Perencanaan logistik
c.       Jenis klasifikasi
Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang cukup menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi WHO. Sebagaian besar penentuan klasifikasi ini didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman.


Gambar 2.1
Jenis Klasifikasi


Pada tahun 1982 WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Klasifikasi tersebut adalah tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB).
Tabel 2.1
Pedoman Utama untuk Menentukan Klasifikasi/ Tipe
Penyakit Kusta Menurut WHO
Tanda Utama
PB
MB
Bercak kusta
Jumlah 1 s/d 5
Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
Hanya satu saraf
Lebih dari satu saraf
Sediaan apusan
BTA negatif
BTA positif

Sumber : Hernani, 2007

             10.  Reaksi Kusta
a.       Definisi
Reaksi Kusta adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta dimana terjadi hipersensitivitas sistem kekebalan tubuh baik kekebalan seluler maupun kekebalan humoral dengan akibat merugikan penderita. Reaksi Kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan ( Naafs dan Wheate, 1978)
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta misalnya :
1)      Penderita dalam kondisi lemah
2)      Kehamilan, pasca melahirkan
3)      Sesudah mendapatkan imunisasi
4)      Penyakit-penyakit infeksi penyerta, misalnya malaria, kecacingan
5)      Stress, dan lain-lain
b.      Jenis Reaksi dan Hubungannya dengan Imunitas
1)      Reaksi tipe 1
Reaksi tipe 1 atau dikenal dengan reaksi reversal atau Borderline (lebih banyak terjadi pada tipe borderline) terjadi karena peningkatan respon imun seluler yang hebat secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respon radang pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini. Dari sudut pandang pembasmian bakteri, respon upgrading (naik) mungkin bisa dipertimbangkan menguntungkan, tetapi inflamasi pada jaringan saraf kadangkala mengakibatkan kerusakan dan kecacatan yang timbulnya dalam hitungan hari, jika tidak ditangani dengan adekuat.
Gejala-gejala reaksi dapat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Kulit memerah, bengkak, nyeri, panas. Pada saraf manifestasi yang terjadi berupa nyeri atau gangguan fungsi saraf.
2)      Reaksi tipe 2
Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral karena tingginya respon imun humoral pada penderita borderline lepromatous dan lepromatous lepromatous, dimana tubuh membentuk antibody karena salah satu protein M. Leprae tersebut bersifat antigenik. Reaksi yang ditimbulkan pada kulit nampak sebagai kumpulan nodul merah, maka disebut sebagai ENL (Erithema Nodosum Leprosum) dengan konsistensi lunak dan nyeri.
Gejala-gejala dapat dilihat pada lesi, neuritis (nyeri tekan) dan ganguan fungsi saraf tepi dan gangguan komplikasi pada organ tubuh.
c.       Pengobatan Reaksi
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu dilakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada form pencatatan pencegahan cacat (POD).
1)      Penanganan reaksi ringan
·         Berobat jalan dan istirahat di rumah
·         Pemberian analgetik/ antipiretik, obat penenang bila perlu
·         Jika masih dalam pengobatan MDT (Multi Drug Therapy) dilanjutkan dengan dosis tetap
·         Menghindari/ menghilangkan faktor pencetus
2)      Penanganan reaksi berat
·         Imobilisasi lokal dan istirahat di rumah
·         Pemberian analgetik, sedatif
·         Jika masih dalam pengobatan MDT (Multi Drug Kombinasi) dilanjutkan dengan dosis tetap.
·         Menghindari/ menghilangkan faktor pencetus
·         Memberikan obat anti reaksi (prednison)
·         Bila indikasi rawat inap penderita dirujuk ke Rumah Sakit
·         Reaksi tipe 2 berat berulang atau reaksi tipe 2 berat yang terjadi pasca RFT diberikan prednison dan lampren.
         (Irawati, 2009)
 
11.  Cacat Kusta
a.       Definisi
Cacat kusta adalah cacat tubuh yang diakibatkan gangguan fungsi saraf pada mata, tangan dan kaki penderita kusta
b.      Proses terjadinya cacat kusta
1)      Kerusakan pada mata
·         Infiltrasi langsung kuman kusta pada mata atau kelopak mata
Daerah mata yang terkena adalah bagian anterior mata, yang merupakan daerah yang terdingin dari mata.
·         Kerusakan saraf VII (facialis) dan saraf V (trigeminus)
Kerusakan saraf facialis menyebabkan kelumpuhan otot disekeliling kelopak mata, sehingga kelopak mata tidak dapat menutup secara sempurna. Kerusakan saraf  menimbulkan anastesi konjungtiva dan kornea yang menyebabkan pasien tidak ada rangsangan untuk menutup kelopak mata bila ada trauma, kekeringan kornea, infeksi dan peradangan.
·         Inflamasi sekunder pada mata akibat reaksi berat tipe 2
Akibat reaksi inflamasi, jika berat atau sering berulang akan menyebabkan terjadinya patologi sekunder seperti atropi dari iris dan ciliar, perubahan degeneratif pada kornea dan sklera, komplikasi katarak pada lensa dan gloukoma sekunder.
2)      Kerusakan pada tangan dan kaki
Terjadinya cacat disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi. Kerusakan fungsi saraf tepi ini dapat disebabkan oleh kuman kusta itu sendiri didalam batang saraf atau karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi kusta. Terjadinya cacat tergantung dari luasnya gangguan fungsi saraf, baik fungsi sensorik, motorik maupun otonom.
c.       Tingkat cacat menurut WHO
Tingkat cacat menurut WHO dibagi atas tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2. Cacat yang terjadi bukan akibat kusta tidak dihitung
Tabel 2.2
Tingkat Cacat Menurut WHO
Tingkat
Mata
Telapak Tangan Dan Kaki
0
Tidak ada kelainan pada mata akibat kusta
Tidak ada cacat akibat kusta
1
-
Anastesi, kelemahan otot. (cacat yang tidak terlihat)
2
Ada Lagoptalmus
Ada cacat/ kerusakan yang kelihatan akibat kusta. Misalnya ulkus, jari kiting, kaki semper.

d.      Saraf-saraf tepi yang dapat mengakibatkan cacat
1)      Saraf Facialis
2)      Saraf Radialis
3)      Saraf Ulnaris
4)      Saraf Medianus
5)      Saraf Pereneus Communis
6)      Saraf Tibialis Posterior
(Irawati, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar